Tanaman “Hula’an” Diyakini Masyarakat Suku Lauje Bisa Menangkal Virus Corona

oleh -
Masyarakat adat suku lauje saat melakukan ritual adat di Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong. FOTO : IST

Saat ini, dunia digemparkan oleh wabah penyakit virus corona atau covid -19 yang bermula dari sebuah Kota di China bernama Wuhan. Indonesia juga termasuk salah satu negara yang kini juga tengah berjuang melawan wabah virus mematikan itu.

Oleh : Miftahul Afdal

Berdasarkan data yang dirilis sultengnews.com pada 6 April 2020, tercatat sebanyak 1.278.523 orang jumlah penduduk dunia positif terinfeksi virus corona atau covid – 19 di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 226.732 yang sembuh dan 69.757 orang yang dinyatakan meninggal dunia.

Sementara di Indonesia, jumlah orang yang positif terjangkit virus corona sebanyak 2.491 orang. Sembuh 192 dan meninggal dunia 209 orang. Sedangkan di Sulteng, tercatat 5 orang positif corona, sembuh belum ada dan meninggal 2 orang.

Untuk mencegah penyebaran virus corona ini, Gubernur Sulteng Drs. Longki Djanggola, M.Si telah mengeluarkan surat keputusan nomor 360/134/BPBD-G.ST/2020 tentang penetapan status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus corona di Sulteng.

Sebelumnya, Gubernur juga telah memerintahkan Dinas Perhubungan untuk menutup pintu masuk ke Sulteng untuk mencegah mewabahnya virus corona. Bahkan sejumlah kabupaten di Sulteng juga telah menerapkan hal yang sama dengan menutup akses keluar masuk warga dari daerah itu seperti di Kabupaten Morowali Utara dan Kabupaten Tolitoli untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.

Di Kabupaten Parigi Moutong, mulai melakukan pembatasan sosial dan menghimbau kepada seluruh kepala desa untuk menyisipkan anggaran sebesar 20 persen untuk penanganan Covid-19 di desanya masing – masing.

Ditengah mewabahnya Covid-19 ini, ada satu suku di Kabupaten Parigi Moutong memiliki cara tersendiri dalam penanganan pencegahan Covid-19 yakni masyarakat adat suku lauje.

Suku lauje ini, terdapat di Kecamatan Ampibabo, Kecamatan Tinombo, Kecamatan Palasa sampai ke daerah Kecamatan Sojol Kabupaten Donggala dan Kecamatan Dondo Kabupaten Tolitoli.

Kecamatan Palasa termasuk pusat persebaran masyarakat adat suku Lauje terbesar di Kabupaten Parigi Moutong. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik  (BPS) Kabupaten Parigi Moutong tahun 2016, jumlah penduduk Kecamatan Palasa, Laki-laki berjumlah 16.329 jiwa, kemudian Perempuan berjumlah 15.574 jiwa, sehingga keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Palasa sebanyak 31.903 jiwa.

Bagi masyarakat suku laudje, jauh sebelum wabah virus corona muncul dan menyebar di seluruh dunia hingga sampai di Indonesia dan akhirnya sampai juga di Sulawesi Tengah, warga suku lauje telah melewati segala macam wabah penyakit salah satunya berupa cacar yang dapat menular kepada orang lain. Bahkan bisa membuat penderitanya meninggal jika tak secepatnya ditangani.

Tokoh adat suku lauje di Palasa, Andi Daemanaga yang kini berusia 70 tahun, menceritakan bahwa suku lauje pernah dilanda wabah penyakir cacar yang terus menular hingga membuat banyak warga yang tertular.

“Dulu Kecamatan Palasa ini, masih masuk wilayah Kecamatan Tomini. Saat itu, ada wabah penyakit yang menyerang warga yang oleh warga saat itu menyebutnya “Penyakit Sagala” yang sangat menakutkan. Penyakit itu menular hampir kepada seluruh masyarakat yang ada sehingga banyak orang meninggal,” kisah Andi Daemanaga.

Andi Daemanaga dalam bahasa lauje menyebutnya “Gota to Nate, No’odoya Manusia,” yang berarti “Banyak orang mati, manusia terdiam,” katanya.

Dia mengisahkan ribuan orang yang meningal saat itu akibat “Penyakit Sagala” sehingga tidak ada satupun orang yang bisa keluar rumah saat itu, karena jika keluar rumah nyawa bisa terancam apabila terkana Penyakit Sagala.

Sesuai kepercayaan orang tua dulu kata Andi Daemanaga, terdapat suatu cara masyarakat adat suku lauje dalam menghadapi wabah penyakit dengan kepercayaan yang telah terwarisi secara turun temurun yakni dengan menyimpan tumbuhan Hula’an atau satang yang tumbuh dipinggir pantai seperti tanaman ubi jalar di depan rumah. Hula’an itulah yang diyakini menjadi penangkal wabah penyakit Sagala saat itu sehingga tidak bisa masuk ke dalam rumah.

Sebab, saat penyakit sagala melanda Palasa dan Tomini kala itu, belum ada dokter di pedesaan,. Bahkan perawat kesehatan, juga tidak ada kala itu, sehingga satu – satunya kepercayaan dari leluhur suku lauje menangkal wabah penyakit adalah dengan menyimpan tanaman Hula’an di depan rumah, sehingga wabah penyakit tidak masuk ke dalam rumah dan menyerang orang di dalam rumah.

“Alhamdulillah, lamai Hula’ane labai owu ijale sauw noduae. Mungkin teule onjo labai nopogutu teule sagaruwe kikira no’opusoma manusia,” ujar Andi Daemanaga dalam bahasa suku lauje.

Adapun arti dari kalimat itu “Alhamdulillah, dari Hula’an itu tidak ada sama sekali penyakit yang datang setelah itu, mungkin kalau tidak dibuatkan juga seperti itu sudah habis manusia”.

Hula’an belum banyak diketahui masyarakat, sehingga kepercayaan tradisional masyarakat adat suku lauje ini mulai ditinggalkan masyarakat khususnya di Desa Palasa. Padahal Hula’an itu, hidup liar di pinggiran pantai dan mudah untuk didapatkan.

Andi Daemanaga juga menuturkan, orang yang terkena penyakit sagala hanya dilakukan pengobatan secara tradisional yakni ditiup dengan bacaan mantra-mantra oleh dukun kampung.

“Labai pernah to lulu sinubiee, labai owu suntikan, bi sinubanga to lulu, ayoee, pertolongan dari siyopulata’ala saga manusia labai nate, senga nongondo to neijal,” artinya “Tidak pernah orang dulu di suntik, yang ada hanya di tiup-tiup, begitu saja, pertolongan darai tuhan sebagian manusia tidak maninggal, langsung sembuh orang yang sakit,” tuturnya.

Daemanaga menjelaskan, kondisi masyarakat yang terdampak Sagala, hampir serupa dengan virus corona saat ini, setiap orang satu sama lain tidak bisa berdekatan, sebab wabah itu dapat menjangkiti ke orang lain, sehingga banyak sekali orang yang berdiam diri di rumah karena takut akan terkena Sagala.

Namun, kepercayaan terhadap Hula’an sebagai penangkal wabah penyakit sudah jarang terlihat digunakan oleh masyarakat. Hanya sebagian kecil saja masyarakat adat suku lauje yang masih meyakini hal itu, sehingga masih menggunakannya dalam menangkal virus corona atau covid – 19.

Dalam melawan penyebaran virus corona ini, pemerintah hanya menganjurkan social distancing atau pembatasan sosial sebagai langkah pencegahan Covid-19 dengan slogan di rumah saja. Berbeda dengan orang dulu yang meyakini adanya umbuhan tradisional yang dapat menangkal penyebaran wabah penyakit, sehingga di pekarangan rumah disimpan agar bisa terhindar dari wabah penyakit.

Masyarakat adat suku lauje, hingga kini masih meyakini bahwa tumbuhan tradisional yang tumbuh di alam merupakan penangkal semua jenis penyakit termasuk wabah virus corona.

Berdasarkan hasil penelitian salah seorang Alumni Universitas Tadulako, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi, Yakub terhadap To Bela yang merupakan masyarakat adat suku lauje yang bertempat tinggal di pegunungan Desa Bambasiang, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong, mendapatkan beberapa pemanfaatan tumbuhan oleh komunitas To Bela untuk menangkal wabah penyakit.

Sedikitnya ada 32 jenis tumbuh – tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat suku lauje sebagai obat-obatan. Bagian dari tumbuhan yang digunakan antara lain daun, batang, buah serta umbi.

Jika ditelusuri lebih mendalam mengenai keyakinan masyarakat komunitas To Bela terhadap proses pengobatan tradisional, merupakan salah satu bentuk keyakinan yang menjadi warisan dari leluhur yang tetap masih dipertahankan hingga saat ini.

Namun sayang, seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan medis, sebagian besar masyarakat suku lauje juga sudah mulai meingalkan pengobatan tradisional itu. Hampir semua masyarakat adat suku lauje, apabila mengalami sakit baik itu penyakit dalam maupun penyakit luar langsung melakukan perawatan di Puskesmas.

Berikut beberapa tumbuhan yang diyakini bisa menyebuhkan wabah penyakit atau orang yang telah terkena penyakit yaitu :

  1. Kumis kucing “vurucumi seseng” (Orthosipon aristatus)
  2. Pulai “Songkalan” (Alstonia scholaris)
  3. “Canggore Ombok” (Porophylum ruderale)
  4. Kunyit putih “Unyit meas (Curcuma manga)
  5. Jarak pagar “Balacai” (Jatropa curcas)
  6. Wenang “Bintanag” (Kelinhovia hospita)
  7. Kencur “Su’ul” (Kaempferia galanga)
  8. Kunyit Hitam “Unyit meitong” (Curcuma caesia)
  9. Tomat “Tamate” (Solanum lycopersicum), obat luka bakar
  10. Jeruk Nipis “Lemo” (Citrus Aurantifolia), obat batuk
  11. Jahe “Loiya” (Zingiber Officinale), obat batuk
  12. Pulutan “Dolupang” (Urena Labata), obat bisul
  13. Sirih “Dolo’e” (Piper Betle), obat untuk wanita
  14. Palem Merah “Lugus Megang” (Areca Vestiaria), obat luka
  15. Daun Nangka “Long Nanga”, obat mata
  16. Daun Pepaya “Long Pepaya”, obat malaria
  17. Buah Kelapa ” Hua Niu”, obat racun
  18. Buah Aren “Hua Aren”, obat racun
  19. Bengkudu “Bangkudu” (Morinda Catrifolia), obat darah tinggi
  20. Jarak Merah “Palan Me’gang” (Jatropha Gosivifolia), obat rematik
  21. “Kayu Jawa” (Lannea Grandis), obat luka
  22. Takelan “Jo’jonga” (Cromolaena Odorata), obat luka luar
  23. “Molambulas” (Dysoxylum nutans), obat penyakit kulit
  24. Benahong “Tambalu’Pa” (Rhapidopora Tetrasperma), obata sakit perut
  25. Tembelakan “Tingkanavu” (Verbenaceae), obat batuk
  26. “Sensegat” (Rubus Mollucanus), obat sakit perut
  27. Biduri “Bungakonde” (Calatropis Gigantea), obat sakit perut
  28. Jambu Biji “Jambu” (Psidium Guajava), obat sakit perut
  29. “Sariyudo” (Blumea Sp), obat panu/kurap
  30. Sembung “Tangkilapon” (Blumea Balsaminifea), obat panu/kurap
  31. Ketepeng Cina “Kalamau” (Senna Alata), obat penyakit kulit
  32. Kunyit “Unit” (Curcuma Longa), obat penyakit kulit

Response (1)

  1. Kami masih meyakini akan keampuhan tradisi orang tua yg ditinggalkan utk kita, klw dikampung ku ini Hula’an dikenal dgn sebutan ” Lakere ‘ ??

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.