Oleh: Syam Zaini, Ketua PGRI Sulawesi Tengah
SULTENGNEWS.COM – Ditengah hiruk pikuk perempatan lampu merah, terdengar teriakan dengan pengeras suara para mahasiswa, para penggiat sosial maupun beberapa komunitas lainnya tentang bencana “Banjir Torue”, sambil beberapa temannya membawa kotak sumbangan.
Belum lagi di beberapa grup whatsapp yang kesemuanya memuat daftar list sumbangan bencana, entah itu berupa uang maupun berupa bahan mentah dan siap saji. Semua seakan berlomba untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi saudara sebangsa dan setanah airnya, tanpa melihat latar belakang suku, agama dan profesinya.
Khususnya Palu dan sekitarnya tentunya telah memiliki “Pengalaman” penderitaan dengan adanya gempa September 2018 lalu.
Rasa empati terhadap saudaranya yang tertimpa bencana sangatlah terasa. Ingatan yang sampai saat ini belum hilang, bagaimana saudara sebangsa dan setanah air bahu membahu membantu korban yang tertimpa bencana Palu saat itu, baik dalam bentuk bantuan tunai maupun bahan makanan. Para “Alumni” gempa Palu sangat menyadari duka bagi yang terkena bencana.
Semangat kebangsaan senasib sepenanggungan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ini merupakan potensi besar yang tentunya harus ditumbuh kembangkan, namun tidak harus ada bencana dulu baru bersatu.
Persatuan dan kesatuan anak anak bangsa yang dirasakan saat ini semakin tergerus oleh hedonisme dan egoisme, sudah terlihat dengan jelas. Ujaran kebencian, saling fitnah begitu terasa menghiasi dinding-dinding media sosial.
Perbedaan pilihan politik dapat memicu rasa permusuhan dan dendam yang berkepanjangan, yang pada akhirnya saling lapor melapor dihadapan yang berwajib dengan tuduhan perbuatan tak menyenangkan, bahkan dengan isu sara yang dimunculkan.
Dunia Pendidikan merupakan miniatur kebhinnekaan di tanah air, di satuan pendidikan siswa berbaur dengan semua rekan rekannya dari berbagai suku, agama dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
Tidak ada perbedaan yang dilakukan oleh satuan pendidikan, mereka diperlakukan tanpa diskriminasi. Para siswa di satuan pendidikan dididik untuk “Ramah Digital”.
Penggunaan android atau sejenisnya agar bertujuan mengoptimalkan pembelajaran, mendapatkan akses pegetahuan secara luas dan cepat. Pelajar ramah digital harus mampu memilih dan memilah informasi positif yang dapat berguna bagi kehidupannya kelak, dapat mendeteksi informasi hoax atau ujaran kebencian yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Pelajar ramah digital merupakan agen-agen di satuan pendidikan yang menciptakan situasi yang kondusif untuk tidak melakukan bullying atau perundungan terhadap rekannya, terhadap guru gurunya dan warga lainnya.
Tidaklah mudah melakukan semua itu, namun sebagai insan pendidikan di tanah air yang sangat diharapkan melakukan gerakan perubahan kearah yang lebih baik, tak pelak lagi itu merupakan tugas mulia.
Gurulah yang terlebih dahulu harus dapat memberikan contoh teladan untuk ramah digital. Jangan justru para guru yang “Terkesan Membully” siswanya atau membuly sesama rekan gurunya. Memberikan satu contoh yang baik itu lebih bermakna daripada seribu nasehat, demikan para bijak mengatakan.
Menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, tentunya semua akan berupaya untuk merayakannya semeriah mungkin oleh seluruh elemen, kita semua tak menginginkan “Rasa Kebangsaan” itu hanya sebagai bentuk seremonial belaka, yang setelah selesai upacara bendera, habis juga semangat Nasionalismenya.(***)