PALU, SULTENGNEWS.COM – Celebes Institut gelar seminar hasil riset dan dialog multipihak dengan bertajuk Agenda Pembangunan dan Kondisi Pegunungan Pipikoro dilaksanakan di Hotel Parama Su, Kota Palu. Selasa (16/12/2020) Kemarin.
Dalam Kesempatan itu pula di hadiri oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sigi, Rahmat Saleh, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sigi dan Masyarakat sekitar yang masuk dalam wilayah rencana pembangunan PLTA Salo Pebatua 2.
Pengurus Celebes Institut, Ferry Rangi dalam presentasinya mengatakan, bahwa petani di Pegunungan Pipikoro sudah memiliki Konsep dan fungsi ruang berdasarkan penyebutan lokal.

“Ngata/Bola: Satuan pemukiman petani, terdapat rumah, fasum dan fasos.
Bonea: Kebun Petani yang telah ditanami tanaman komoditi berupa damar, kopi, kakao dsb.
Lida: Lahan berupa sawah yang ditanami padi,”jelasnya
“Selain itu, adapula yang di sebut dengan Oma,Pampa, Ponulu, Wana dan Wana Ngkiki Oma adalah Tempat petani menamam tanaman musiman semata untuk dikonsumsi. Pemanfaatan pada lahan ini dengan sistem berladang pindah-pindah setelah panen. Usia padi ladang siap dipanen, antara 4-6 bulan. Dapat digunakan 1 hingga 2 kali panen, kemudian pindah ke oma baru. Jenis tanaman yang ditanam adalah padi ladang dan jagung,”lanjutnya.
Kemudian, kata dia, pampa adalah seperti dalam sistem oma, namun jarak waktu pengolaannya lebih singkat. Sementara Ponulu yakni hutan tempat petani mengambil rotan, kayu ramuan rumah, umbut, berburu. Adapun Wana, hutan rimba, tempat petani berburu, dan mengambil hutan dan Wana Ngkiki,hutan rimba dikeramatkan, tidak dijangkau oleh petani.
Dalam kesempatan itu juga Ferry Rangi menjelaskan tentang petani dan pembagian kerja di pegunungan Pipikoro yang mengenal sistem erja kolektif atau dengan sebutan mereka yaitu mosiala pale dan sistem upah kemudian teknologi yang digunakan masih sederhana.
Dia mengatakan, dengan pengetahuan yang dipraktekkan secara turun temurun dan belajar dari petani lainnya. Kemudian Pembagian kerja yang tidak efektif, petani mengolah sendiri lahan, sejak tanam hingga panen. Untuk hasil panen tanaman komoditi seperti halnya kakao, kopi dan damar. Dijual dalam bentuk komoditi mentah belum diolah dengan harga murah karena ongkos ojek, dan harga dikontrol oleh tengkulak.
Hal yang menarik dalam Penjelasan Ferry tentang Konsep Kepemilikan Tanah Petani Pegunungan Pipikoro dan Kulawi Selatan. Bergerak dari kepemilikan komunal menjadi milik pribadi dalam menentukan batas-batas kepemilikkan hanya menggunakan salah satu pohon lokal dalam Bahasa Uma disebut Taba. Alasan menggunakan Pohon taba sebagai penanda cukup sederhana karena jika di tebang pohon tersebut akan tumbuh lagi.
Menurutnya, negaraisasi Tanah Petani dan Wilayah Adat Masyarakat Adat melalui penetapan kawasan hutan dan Tambang Mica di desa Towulu era kolonial Jepang dan rencana pertambangan merupakan Akumulasi Primitif.
Dalam presentasi itu pula dirinya menjelaskan Konsep Akumulasi Primitif oleh Karl Marx dalam Capital vol I mendeskripsikan proses panjang petani dilepaskan dari alat produksi (tanah) dengan cara-cara kekerasan. Sehingga, ia tak punya apa-apa lagi selain, tenaganya untuk dijual ke pasar tenaga kerja.
Lebih Lanjut, dia menyebutkan bahwa Pembangunan PLTA Salo Pebatua adalah Akumulasi Primitif karena sebelum beraktivitas, negara telah menetapkan terlebih dahulu sebagian besar wilayah Pipikoro sebagai kawasan hutan dengan berbagai fungsi.
Menurut dia, pada umumnya, proses ini dilakukan tanpa sepengatahuan petani pegunungan Pipikoro dan Kulawi Selatan. Selanjutnya, negara melalui pemerintah memberikan Ijin eksplorasi pembangunan PLTA Salo Pebatua 2.
Selanjutnya, oleh ijin pemerintah, PLTA beraktivitas di dalam kebun petani dan ulayat masyarakat ada Pipikoro. Hingga saat ini, infrastruktur dasar penunjang sumber daya petani pegunungan Pipikoro masih buruk. Konsekuensinya, jika diperhadapkan dalam kompetisi penjaringan tenaga kerja modern di PLTA, mereka akan tersingkir.
Kemudian, dia menerangkan, informasi bahwa jika PLTA Salo Pebatua akan dibangun, ada sebagian masyarakat yang mesti direlokasi. Hingga saat ini, perusahaan tidak memberikan informasi yang utuh dan melibatkan seluruh petani dimana pembangunan PLTA Salo Pebatua akan dibangun.
Secara singkat dalam clossing statement,masyarakat Desa Tuwo Alpinus Rangi mengatakan penolakannya terhadap rencana pembangunan PLTA Salo Pebatua.
“Kami menolak pembangunan PLTA karena kebun kami terancam,”tegasnya.
Alfianus juga menuturkan bahwa dirinya pernah bekerja di salah satu perusahaan sawit dan itu dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan teknis sehingga menurutnya melihat kondisi masyarakat Pipikoro dan Kulawi selatan mayoritas petani tidak mungkin bisa di rekrut di PLTA nantinya.
“ Lebih baik kita berkebun saja karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki keahlian,”katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sigi Afit Lamakarate, saat ditemui usai kegiatan, mengatakan bahwa kewenangan izin Pembangunan PLTA bukan di daerah melainkan di Pusat.
“Izin itu berproses, ada yang paling penting yaitu izin komisi bendung dan PLN kewenangannya di Pusat,”kata Afit
“Kalau saya dari sisi lingkungan melihat pembangunan ini adalah sesuatu yang ramah lingkungan, Kita harus optimis,”tambahnya.
Bagi Afit, komisi bendung ketat dalam proses penerbitan izin, kajiannya dalam karena ini sangat teknis setelah itu lanjut lagi izinnya di PLN dan itu sangat panjang prosesnya.
“Kenapa kita bicara di masyarakat, karena kita ingin menenangkan dan memang belum ada yang di bongkar,”urainya.
Afid juga mengatakan bahwa penting untuk membaca AMDAL di dalam dokumen dan disitu memberikan rambu-rambu.
“Kalau menurut saya dalam dokumen lingkungan kalau ada yang kurang ditambah dan pemerintah juga melakukan pengawasan karena ini diikat dengan undang-undang,”tuturnya
Dia menyatakan, bahwa pihaknya ingin daerah dan masyarakatnya berkembang dan bisa sejahtera. PLTA itu masuk dalam energi baru, terbarukan.
“Pada saat (PLTA) jadi dia harus menyelamatkan hutan, kalau tidak maka dampaknya terhadap debit air,”tutupnya. DAL